Masih di balik kaca besar lantai tiga gedung ini. Kaca megah tanpa kusen dan teralis, yang sempurna membuat aku menyatu dengan langit jam 3 sore. Langit biru dengan kuning yang menjingga berserak di beberapa titik.

Source: tpq-nurazizah.blogspot.com


Aku duduk di atas kursi kayu yang tak lapuk, menatap lamat-lamat apa saja yang terjadi di bawah sana. Sambil bertopang dagu, mataku tetap awas menyaksikan setiap kehidupan yang berembus di sana. Ku lihat seorang ibu mengejar anaknya yang sulit sekali disuruh mandi. Ada juga tukang es keliling yang nampaknya mulai mengempiskan harapan, karena hari mulai segar, es tidak akan lagi dielu-elukan. Tak absen seorang tukang sapu yang terus menyapu daun berguguran, setiap hari hingga bersih, hingga gugur lagi daunnya, bersihkan lagi, dan terus begitu. Ah, sore ini dunia bergerak seperti biasanya. Jika saja dunia adalah potongan-potongan dimensi yang beragam, mungkin aku saja yang berbeda dimensi dengan mereka semua.
Yang berwarna dan yang kelabu.
Tabir kelabu masih setia menyelimuti seonggok kalbu ini. Hati yang masih tak mau berdamai dengan satu hukum alam; bahwa setiap pertemuan pasti menggandeng perpisahan. Sesekali aku menjadi pongah, mengutuki masa lalu sambil berharap tak pernah bertemu dengan pertemuan jika ternyata ia membawa kawan yang menyakitkan. 

Mataku masih menatap lekat ke bawah sana, ketika seorang wanita yang tengah berjalan sendirian bertemu dengan gerombolan wanita lain. Wanita kesepian yang sedari tadi kecut saja, perlahan berubah sumringah. Ia merentangkan tangannya. Seakan-akan hendak memeluk gerombolan wanita yang berada di hadapannya. Lalu mereka tampak bercakap-cakap sebentaran, hingga wanita itu berjalan sendirian lagi. Hingga wajah sumringah menjadi normal lagi. Sedikit lisut.

Dan tiba-tiba kaca besar dihadapanku ini bak bertransformasi menjadi cermin yang menggambarkan semuanya. Wajah seruh layu yang resmi melekat di wajahku sekarang. Meski lidah terus saja membual, berkata semua baik-baik saja, namun gelembur yang semakin nampak tak kuasa lagi sembunyi. Perpisahan ini sakit memang.

Bertemu dengan mereka telah membawa cahaya tersendiri ke dalam gulitanya asa ini. Mencoba mengikat tali yang gaib, namun mengikat dengan begitu kuatnya, dan hanya menyisakan sedikit ruang yang cukup untuk bernafas bersama. Setiap tawa dan tangis sudah melebur menjadi satu kenangan tersendiri. Kebersamaan ini berhadiah kebahagiaan yang mengalir bersama aliran darah, mengisi dari ujung jemari kaki hingga puncak ubun-ubun. Bersama-sama menghadapi kerasnya dunia dengan kelembutan, menghadapi bengisnya goda syaitan dengan ukhuwah dan iman. 

Namun sang waktu sudah bergulir membawa kita kepada detik terakhir. Detik di mana ikatan gaib itu harus dilepas simpulnya, pun gandengan tangan yang harus dilepas pelan-pelan. Detik di mana sumber aliran kebahagiaan itu harus pergi. Pergi amat jauh mencari aliran darah lain untuk dibuatnya bahagia. Meninggalkan aku dengan tumpukkan-tumpukkan kenangan yang sampai saat aku terduduk di sini masih ku peluk erat. Tumpukkan kenangan yang kini sudah lapuk dengan banjir air mata.

Sejurus kemudian, sebuah cahaya yang menyilaukan terangnya berdiri tepat di samping kananku. Aku masih menutupi wajah dengan lengan, sedikit merunduk, tak kuasa berdamai dengan silaunya. Ketika lamat-lamat terdengar suara yang bergema, tenang terjaga..
Tak juakah kau mengerti, jika dunia ini hanya tumpukkan cerita dan skenario? Sejatinya dunia ini terlampau singkat masanya, dan masa yang singkat itu teramat pula membuainya. Segala yang kau punya di dunia hanyalah titipan, yang tak perlu kau tangisi ketika kembali diambil oleh Yang Memiliki. Apalagi hingga kau marah dan mulai mengutuk, mengakui semua adalah milikmu yang kau dapat karena jerih payahmu sendiri. Padahal kamu tahu, bahkan tenagamu pun adalah titipan, tenagamu pun bukan milikmu. Banyak orang yang datang kemudian pergi dari hidupmu, sejatinya tak perlulah kau tangisi. Ambillah pelajaran dari mereka. Dengan begitu kau telah menggunakan titipanNya dengan bijaksana. Teruslah begitu, hingga saatnya kau lepas dari kefanaan, datang kepadaNya, dan membuatNya tersenyum bangga kepadamu.
Sedikit-sedikit cahaya itu meredup. Cahaya itu pergi lagi meninggalkan aku sendiri.

Ku tatap jam tangan di pergelangan kiriku, pukul 15:30. Aku bangkit dari dudukku, kemudian membalikkan badan dan berjalan menuju pintu keluar gedung ini. Seraya perlahan mengembangkan senyum, demi menghapus wajah yang sudah lama kusut. Menggantinya dengan wajah yang penuh keyakinan, sambil sedikit berbisik...
Sudah waktunya sholat Ashar.....


(Naura Agustina)