Ibu kota yang penuh sesak. Selalu saja begitu, Jakarta.

Aku terus berjalan, berjalan dan terus berjalan. Memajang senyum walau kaku. Menatap harap walau kelu. Aku hanya membayangkan, sepanjang jalan ini dapur rekaman. Bernyanyi, terus bernyanyi. Dapur rekaman ini sangatlah panjang. Sepanjang usiaku yang kini mulai berkepala dua. Dua puluh tahun bergelut dengan penyanyi jalanan bukanlah waktu yang sebentar. Sepak terjang dunia anak jalanan telah kutempuh. Banyak peluh banyak juga keluh. Sesak. Rasanya aku ingin mengakhiri semua ini.

Kini aku berjalan bersama mereka. Seperti potret diriku lima belas tahun yang lalu. Mereka masih riang. Mereka masih ikhlas menebar senyum. Tak ada beban pada wajah mereka. Mereka yang kami temukan di ujung-ujung jembatan. Adakah mereka ini yang terbuang? Mungkin saja. Mereka yang tak tahu batas, melahirkan malaikat-malaaikat tak berdosa ini. Mereka pula yang membuang. Naas.

Suatu ketika, dalam rutinitas keseharian kami, ‘penguasa jalanan’. Sontak aku temukan sosok wanita yang tiba-tiba turun dari mobilnya dan dengan sabar mendengarkan kami bernyanyi. Kami hanyalah seorang pengamen. Tapi dia tidak memperlakukan kami layaknya seorang pengamen. Pernah suatu hari. Setelah menyanyikan beberapa lagu, kami diajaknya ke sebuah tempat. Bukan rumahnya. Melainkan sebuah danau yang indah. Kami hanya disuruh diam.

Dia membuka sebuah buku kecil. Tulisannya tak aku mengerti. Namun ku tahu itu Al Quran. Perlahan dia membacanya. Bacaannya halus, ringan, dan nyaman didengar. Terasa desir kenyamanan dalam hati. Air mataku mulai menetes. Entah kenapa. Ada rasa menyeruak, hati ini bergejolak. Aku hanya mendengarkan dia membacanya. Sejak saat itu rutin kami diajaknya ke tempat ini, hanya untuk sekedar belajar membaca Al-Quran. Aku sendiri malu, aku pemuda, yang usianya menginjak 20 tahun, tak pernah sedikitpun menyentuh yang orang islam mengatakan itu Al-Quran. Aku sendiri sadar, aku orang islam. Aku malu, selama ini yang aku lakukan hanya mengadu nasib menjadi penguasa jalanan.

Source: http://www.bhmpics.com/


Bidadari itu nyata, menunjukan keanggunan dengan bacaan Al-Qurannya. Bidadari itu nyata, memperlihatkan kecantikan dengan jilbabnya. Bidadari itu nyata, dengan uluran kasih kayangnya pada kami, ‘penguasa jalanan’. Bidadari itu nyata, memperlihatkan padaku jalan yang lain, bukan jalan penuh sesak dengan asap kendaraan, bukan jalan dengan nyanyian parau meminta belas kasihan, namun menyadarkanku bahwa ada nyanyian yang lebih indah dari lagu pop yang biasa kami bawakan, yaitu bacaan Al-Quran dengan sepenuh hati, yang membuat hatiku tergugah untuk mendalaminya. 
Baru ku tahu, bidadari itu nyata…

(Anisa Nurafifah)