Pukul 20.30 malam dengan langit Jakarta yang tak terhalang oleh awan, Sehingga jutaan bintang nampak terlihat jelas membentuk berbagai konstelasi seolah mereka tersusun dalam satu diorama. Ah, aku tahu dia pasti sedang di sana. Dan benar saja, sesaat setelah aku sampai di balkon kamarku di lantai dua. Dia tepat 7 meter di depanku, di ketinggian yang sama, kami berdua sama-sama memandangi gugus-gugus bintang untuk mentafakuri keindahan ciptaanNya.
Namaku
Awan, Aku hanya seorang lelaki biasa berkulit gelap. Tidak ada yang istimewa
dari diriku. Aku bukan berasal dari keluarga konglongmerat atau semacamnya.
Itulah sebabnya aku mencari tambahan uang dari hobiku sebagai fotografer di
sebuah kantor majalah remaja di kota ini. Selain untuk kebutuhan majalah, Aku
suka memotret objek apapun dengan latar langit malam penuh bintang. Itulah
sebabnya aku senang bila malam seperti ini tiba.
Wanita di depanku itu bernama bintang, semenjak kepindahan
ia dan keluarganya delapan tahun lalu, waktu itu usiaku 15 tahun. Aku
mengenalnya dengan baik dan tahu persis kebiasaannya saat malam dengan kondisi
seperti ini. Mungkin karena namanya bintang, dia selalu nampak senang ketika
memandangi langit bertabur bintang. Wanita dengan perangai cerah bak nama
disematnya, dia paham betul bagaimana dia harus berinteraksi dengan lelaki
asing sepertiku, santun namun tahu akan batasan. Sekalipun kami sudah saling
kenal baik, batasan itu akan selalu ada karena aku tetap lelaki asing baginya.
Selama delapan tahun itulah, ketika malam seperti ini
tiba. Seolah telah menjadi kebiasaan kami untuk -berdiri ditempat
masing-masing- dan memandangi konstelasi-konstelasi bintang yang bertabur di
angkasa. Melalui langit berbintang ini kami merasa banyak melakukan percakapan
sekalipun sebenarnya hanya diselingi sedikit obrolan ringan atau bahkan sama
sekali tak saling bicara.
Tigapuluh
menit berlalu, dan kami telah saling mengerti bahwa tak baik lawan jenis saling
berinteraksi di atas jam 9 malam. Biasanya salah satu dari kami akan memberi
tanda berakhirnya kebersamaan kami, meskipun sebenarnya kami tak saling bicara.
Ah, dia memang wanita yang baik.
“Wan, kenapa lu gak bilang aja sih sama bintang soal perasaan lu?” ujar Aryo sambil menyeruput kopinya “kalian kan udah bukan anak kecil lagi, lu bisa sakit kalau dipendem terus”.
Dengan santai aku
menjawab
“Haha buat aku, urusan perasaan macam ini gak semudah kaya anak kecil yang minta jajan ke orangtuanya. Semuanya harus dipertimbangkan”
Aryo menimpali
“Tapi kan lu sama bintang bisa.....”.
“pacaran?” aku memotong “aduh, yang kaya gitu lebih banyak bawa kerugian buat aku. udah ah, lagian kita udah pernah bahas ini sebelumnya kan?” ujarku sambil tersenyum.
“yaudah, gue sebagai temen lu akan dukung apapun keputusan lu” aryo nampak puas dengan jawabanku
“Yo, aku duluan ya. Aku mau hunting foto buat majalah sebelum ngampus. Semuanya gue aja yang bayar”jawabku sambil bergegas
“oke, hati-hati wan”
Aku
tahu ini perasaan yang wajar, namun saat ini bukan waktu yang tepat untuk
mengumbarnya. Aku tidak ingin hal buruk terjadi karena aku yang mengikuti hawa
nafsuku. Dan aku sama sekali tidak menyesali itu, biarlah aku yang mengadu pada
Tuhan dengan doa doa yang selalu kupanjatkan. Doa yang aku yakin dapat menembus
langit yang selalu kupandang bersama bintang. Semua itu karena aku mencemaskan
satu hal “awan gelap hanya akan menutupi gemerlapnya cahaya bintang”. Dan
kalimat itu sungguh mengiris hati.
Pada
suatu malam yang lain aku memutuskan untuk keluar rumah dan menikmati hiruk
pikuk perkotaan sambil mengambil beberapa jepret foto. Malam ini sama sekali
berbeda dengan malam yang sering kuhabiskan bersama bintang. Langit yang
diselimuti dengan awan hitam pertanda rintik hujan akan membasahi seluruh kota.
Beberapa orang yang kulihat nampak bergegas mencari tempat berteduh. Ah,
mungkin awan gelap memang satu dari sekian hal yang kerap dihindari.
Tak
lama kemudian awan hitam itu menjatuhkan rintik hujan dan seketika itu pula
ponselku berdering. Kulihat nama bintang dilayar monokrom ponsel jadulku, lalu
ku buka pesan darinya.
“Assalamu’alaykum
wr wb. Wan, maaf kalau beberapa hari ini kita jarang ketemu. Aku cuma mau
bilang kalau minggu depan aku sekeluarga mau pindah ke pakistan karena ayah
harus mutasi kesana, maaf kalau mendadak. Aku senang kita bisa saling mengenal
selama 8 tahun ini. Mudah-mudahan di kesempatan lain kita bisa ketemu lagi
Wassalam”
Aku terdiam sejenak dan
seolah jantungku berhenti berdetak untuk sesaat, udara seolah terasa jauh lebih
dingin bagiku. Aku tidak percaya hari
ini akan datang. Hari di mana
aku tahu bahwa mungkin ini adalah saat-saat terakhir perjumpaan aku dengannya.
Seketika itu, aku langsung bergegas membereskan kameraku, dan pergi. Menghilang
ditengah rintik hujan yang semakin deras.
Pukul
20.30 malam dengan langit yang tak terhalang oleh awan, Sehingga jutaan bintang
nampak terlihat jelas membentuk berbagai konstelasi seolah mereka tersusun
dalam satu diorama. Ah, aku tahu dia pasti sedang di sana. Dan benar saja,
sesaat setelah aku sampai di balkon kamarku di lantai dua. Dia tepat 7 meter di
depanku, di ketinggian yang sama, kami berdua sama-sama memandangi gugus-gugus
bintang untuk mentafakuri keindahan ciptaanNya.
Malam ini adalah malam terakhir aku bertemu dengan
bintang, karena besok pagi ia dan keluarganya harus berangkat ke bandara. Tak
dinyana, hawa nafsu mengilhamkan di pikiranku untuk mengungkapkan perasaan ini.
Setidaknya, tak ada yang perlu kupendam sebelum kami berpisah
“Jadi, kau benar akan pergi?” tanyaku dengan cemas
Dia
mengangguk kecil, dengan mata yang sedikit sembab. Seolah dia tak rela untuk
pergi.
“Kapan kau akan kembali?” tanyaku lagi
“Aku..” Dengan sedikit gugup ia menjawab.
“Aku tak tahu kapan kembali, yang jelas aku akan tetap disana sampai tugas ayahku selesai? Mungkin belasan tahun”
Perasaan
cemas, haru dan bimbang berkecamuk dalam hati. Perasaan cinta ini menjadi
semakin besar, semakin besar seratus kali setiap hembusan napasku. Dan akhirnya
aku mengambil sebuah keputusan.
“Bintang” sapaku setelah beberapa menit terdiam “Aku mau bilang sesuatu”
“Apa itu?” tanyanya penasaran
“Kau mungkin akan terkejut mendengarnya”ujarku lagi
Perlahan
bintang mulai mengeryitkan dahi. Lalu kami berdua terdiam selama beberapa saat.
“Aku cuma mau bilang”sambungku perlahan “ehm, kakek orang pakistan. Usianya sudah 75 tahun. Mungkin kau bisa mengunjunginya lain waktu, alamatnya akan ku kirim lewat e-mail”
“Masa? Oke. Mudah-mudahan aku bisa menemuinya”balasnya
Dan
waktu menunjukkan puluk 21.00.
Bagi sebagian orang, mungkin keputusan ini gila.
Bagaimana tidak? Delapan tahun aku mengenalnya dan mencintainya. Tapi aku lebih
memilih mencintainya dalam diam. Dalam setiap untaian doaku. Doa yang kuharap
mampu menembus langit yang sama dengan yang aku dan binang pandangi setiap
malam. Jika Tuhan menghendaki, mungkin cinta ini mampu dieksekusi dalam waktu
yang tepat.
Akhirnya
aku menyadari satu hal. Bintang yang paling bersinar tak akan nampak redup sekalipun
sang awan mendekat, jika kita menghendakinya.
(Reza Alfaro)
(Reza Alfaro)
COMMENTS